Rizki; Antara Kebutuhan dan Kemauan

"Hidup memang bukan untuk cari rizki, tetapi rizki -tak bisa ditampik- ianya dibutuhkan dalam hidup"

Begitulah kalimat yang kerap dipakai orang-orang untuk menegaskan bahwa rizki memiliki peran yang vital dalam kehidupan manusia. Dimana-mana, kemana-kemana -sudah lumrah- orang-orang membutuhkan uang dan fasilitas penunjang. Untuk menghasilkan uang dan fasilitas penunjang inilah, orang-orang bergerak siang dan malam, bekerja, berikhtiar dengan berbagai cara sesuai kemampuan.

Tidak ada yang salah dengan rizki. Tidak ada yang salah pula dengan keseriusan orang-orang berikhtiar mencarinya. Manusia memang sudah seharusnya berikhtiar. Walaupun soal hasil itu sepenuhnya sudah digariskan tuhan, Allah swt. Allah swt sudah menetapkan jumlah dan cara manusia mendapatkannya. Tidak akan bertambah, tidak pula akan berkurang. Pula tidak akan berpindah tangan. Tinggal saja manusia tugasnya berikhtiar.

Namun dalam realitas kehidupan, rizki kerap menimbulkan persoalan dan beban. Sebagian orang selalu merasa dirinya kekurangan. Banyak hal yang ingin dipenuhi tetapi tidak kesampaian. Banyak ha yang ingin diraih tetapi gagal didapatkan. Masalahnya satu, tidak memiliki finansial (rizki) yang cukup untuk mendapatkannya.

Jika ditelisik lebih dalam, ada peroalan mengapa rizki menjadi persoalan dalam kehidupan. Yaitu adanya generalisasi yang memukul rata bahwa setiap yang diinginkan adalah kebutuhan. Padahal didalam sana, ada banyak kemauan berlandas nafsu yang diatasnamakan kebutuhan. Akhirnya manusia selalu kalangkabut mengejar keinginan yang tak kunjung habis dan berhujung mengeluh karena kecewa tak kesampaian.

Kebutuhan dan kemauan dalam perspektif iman adalah dua hal yang berbeda. Kebutuhan adalah segala hal yang mendasar harus terpenuhi dalam kehidupan secara mendesak. Seperti pangan, sandang dan fasilitas lain yang layak tanpa berlebihan. Sementara kemauan adalah penunjang hidup yang sejujurnya manusia tidak akan 'celaka' tanpanya atau ianya mejadi kebutuhan tetapi untuk jangka panjang.

Sejatinya, pemenuhan kebutuhan tidak terlalu menjadi persoalan yang menyisakan beban dalam hidup. Buktinya, sejauh kita sudah menjalani kehidupan, Allah swt senantiasa memberikan kita jalan untuk memenuhinya. Hanya terkadang butuh kerja keras dan kesabaran untuk menunggunya. Dan itu wajar! Keinginan dan kemauan lah yang menyeret kita dalam beban. Sebab orang yang memiliki banyak keinginan selalu merasa tidak cukup dan kekurangan. Wajar saja, karena yang namanya keinginan memang tidak pernah habis-habisnya hingga ajal. Akhirnya saban waktu, kita beban mengejarnya tanpa henti dan kecewa saat tidak mendapatkannya.

Untuk menyikapi persoalan rizki agar kemudian tidak menyisakan beban, ada hal yang harus dipahami.
Pertama, sebagaimana sudah disampaikan di atas, bahwa rizki manusia sudah ditetapkan Allah swt. Manusia akan mendapatkannya sesuai porsi yang sudah ditentukan dan dengan cara yang sudah ditentukan pula. Tidak akan bertambah, tidak akan berkurang, pula tidak akan hilang.
Kedua, mengurangi keinginan. Apalagi yang sangat berlebihan. Kita harus 'mamaksa' diri untuk mempadai diri dengan apa yang diberi Allah swt dan mengurangi kemauan untuk memiliki segala-galanya sebagaimana orang-orang. [admin].

1 komentar

Anonim mengatakan...

jika rezeki sudah telah dibagi, mengapa masih khawatir..??? hubungkan hati kita kepada sang pemberi rezeki,bukan hanya kepada rezeki itu sendiri.. yang penting usaha dan doa,

Diberdayakan oleh Blogger.