Politik Yang Saya Jalani dan Hayati (Bagian 2)

(Catatan Pemikiran Politik Tgk H. M. Yusuf Abdul Wahab/Tu Sop)

Tgk H. Muhammad Yusuf Abdul Wahab / Tu Sop

Politik Sebagai Gelanggang Perjuangan

Tusop.com - Dalam persepsi kebanyakan orang, politik adalah ‘lahan garapan’ yang menghasilkan keuntungan rupiah. Dimana orang-orang yang terlibat di dalamnya memiliki pengaruh yang bisa membuka kran rupiah karena memiliki akses ke lingkaran penguasa. Atau paling kurang, pundi rupiah atas nama “operasional” akan mengalir dari partainya sendiri tatkala ada kegiatan-kegiatan politik yang akan disukseskan.

Tak bisa ditampik, paradigma semacam ini memang sudah begitu mengakar dalam masyarakat ‘ammah. Namun tidak serta merta semua orang yang terlibat dalam politik bisa disamaratakan. Perjalanan waktu menegaskan bahwa diluar sana masih ada orang-orang yang ikhlas menjadikan politik sebagai lahan dakwah untuk memperkuat nilai-nilai kebaikan yang terkadang harus dilakukan dengan mengorbankan uang dan harta benda sendiri untuk menjalankan misi perjuangannya.

Dalam konteks ini, saya tidak memastikan bahwa orang tua saya dan teman-teman seperjuangannya adalah orang-orang hebat yang ikhlas berjihad di politik atau justru mereka termasuk orang yang sebatas mencari keuntungan di politik. Sebab apapun cerita, keihklasan seseorang tidak bisa ditebak karena ia tersembunyi di lubuk hati yang paling dalam. Namun bagaimana pun saya harus jujur bahwa sejauh yang saya ketahui, Abu dan beberapa teman seperjuangnya yang saya kenal, benar-benar orang yang ‘berjihad’ di politik dan untuk kebutuhannya mereka kerap mengorbankan harta bendanya sendiri.

Dalam kehidupan pribadi, orang tua saya bukan tipe orang yang melimpah harta bendanya. Bukan juga saudagar yang punya usaha menjanjikan untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan keluarga. Beliau adalah sosok sederhana yang serba tidak berkecukupan. Jangankan untuk hidup mewah, mencari nafkah sehari-hari saja masih menjadi beban.

Kami sebagai anak-anak beliau memaklumi sesadar-sadarnya akan hal itu. Sebab yang terlihat dimata kami, sehari-hari beliau harus berjuang keras, berpacu dengan waktu untuk melayani umat, mengurus dayah yang beliau pimpin dan mencari nafkah untuk kami. Sehingga pantas saja, ketika kami meminta uang Rp. 20.000 misalnya, yang kami peroleh dari beliau kadang-kadang tidak sampai setengah dari yang kami butuhkan. Namun bagi kami, khususnya saya pribadi, hal itu sudah tidak menjadi beban. Sebab Ummi kami selalu memberikan semangat untuk kami bahwa Abu –sapaan kami untuk sang ayah- adalah tipe orang yang ‘mewakafkan’ diri untuk dakwah agama dan menghidupkan syiar Islam. Itu menjadi hal yang paling utama dalam hidup beliau.

Namun, suatu hal yang sulit dicerna pada saat itu, di tengah kondisi ekonomi pribadi yang rapuh, Abu kerap menyisihkan rezeki, terkadang malah menjual harta benda yang ada untuk kepentingan jihad politiknya. Kepada kami (anak-anak beliau), Ummi kami bercerita perihal betapa Abu berkorban untuk perjuangan politiknya. Cerita Ummi, Abu seringkali harus menjual hewan-hewan peliharaannya untuk berangkat mengikuti rapat-rapat partai atau kegiatan partai yang lainnya. Kadang-kadang Abu menjual ayam atau bebek, kadang pula Abu menjual biri-biri peliharaannya. Tergantung besaran biaya perjalanan yang beliau butuhkan. Untuk mengikuti kegiatan se-tingkat kabupaten –saat itu masih Aceh Utara- biasanya Abu menjual ayam atau bebek. Dan untuk mengikuti kegiatan di tingkat provinsi biasanya Abu menjual biri-biri atau kambing.

Sebagian orang, terlihat lebih sejahtera ketika bergabung dalam partai politik, tapi kenapa Abu justru malah menghabiskan uang sendiri sampai-sampai menjual hewan peliharaan untuk mengikuti kegiatan politik partainya? Saya membatin melihat apa yang Abu lakukan saat itu. Tidak hanya Abu, beberapa teman seperjuangannya setau saya juga kerap melakukan hal yang sama.

Setelah kemudian hari, saya mencoba menelusuri, saya simpulkan bahwa ternyata bagi mereka memasuki gelanggang politik berarti menapakai kaki di gelanggang perjuangan. Ya, perjuangan untuk bagaimana menjadikan politik sebagai instrumen mengokohkan implementasi nilai-nilai ideologis ke-Islaman serta pengamalan nilai-nilai warisan Rasulullah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara sistematis dan massif. Sehingga hitung-hitungan dalam politik adalah pahala, bukan rupiah. Pantas saja, mereka mencoba bertahan dalam politik walau penuh pengorbanan.

Bersambung...

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.