Tampilkan postingan dengan label Testimoni Publik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Testimoni Publik. Tampilkan semua postingan

Kamis, 19 Januari 2017

Abi Nasruddin Judon: Jika Lawan Politik Memfitnah, Do’akan Mereka!

Tusop berorasi didampingi Tgk Nasruddin Judon (kiri) dan dr Purnama (kanan)



SAMBUNGAN BERITA INI

Sebelumnya, Tgk Nasruddin Judon selaku Ketua Tim Pemenangan pasangan Tusop-dr. Purnama dalam sambutannya mengatakan, misi Nabi Muhammad Saw diutus sebagai Rasul adalah untuk memperbaiki akhlak manusia. 

Menurut Tgk Nasruddin, memperbaiki akhlak adalah hal yang sangat sukar maka mesti manusia-manusia sempurna yang menanganinya.

“Jadi dalam misi kerasulan Nabi Muhammad tidak pernah berkata atau berjanji kepada ummat akan saya bikit jalan, bikin irigasi, bikin got dan sebagainya, kenapa ? Karena untuk pembangunan fisik itu siapapun bisa, tapi untuk merobah pola pikir dan prilaku maka harus manusia baik yang hadir untuk memperbaiki, “ ujar Tgk Nas.

Tgk Nas melanjutkan, disaat kita berbicara politik Bireuen itu artinya kita berbicara tempat Bireuen dan juga rakyat bireuen. Artinya politik Bireuen itu bagaimana memperbaiki fisik Bireuen dan bagaimana memperbaik moral dan akhlak masyarakat Bireuen.

“Maka ini merupakan berjuangan besar, sehingga wajar disaat kita berbuat untuk agama berbagai macam cobaan dan fitnah terhantam.

Di akhir orasinya Tgk Nas berpesan, jika ada lawan politik yang bertutur kata fitnah untuk Tu Sop - dr Pur dan juga untuk beliau sendiri maka lebih baik diam.

“Do'akan saja semoga Allah mengampuni dosa mereka, “ ujar Tgk Nas kepada hadirin. [bahri/admin]

Jumat, 06 Januari 2017

[Testimoni Publik] Antropolog Aceh: Sosok Tu Söp Seperti Al Maududi

Foto dari FB Irhamullah
ACEHTREND.CO, Banda Aceh – Antropolog Aceh, Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, MA, Ph.D menyebutkan bahwa sosok Tgk. Muhammad Yusuf A. Wahab atau yang akrab disapa Tu Söp merupakan figur seperti Abul A’la al Maududi. Hal itu disampaikan oleh Kamaruzzaman dalam acara bedah buku berjudul “Memperbaiki Orang Kuat, Menguatkan Orang Baik” karangan ulama dayah Aceh, Tgk. Muhammad Yusuf A. Wahab di Aula Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Jumat (6/1/2016).

“Beliau mengingatkan saya pada sosok pendiri Jama’at Islami, Abul al-A’la al-Maududi di Pakistan,”ujar penulis buku “Acehnologi” ini.

Antropolog produktif ini juga menambahkan, pendapat tersebut bukan tanpa alasan karena al-Maududi adalah seorang aktivis dakwah sekaligus ilmuwan. Hampir tidak ada perbedaan, Tu Söp dimatanya juga demikian.

“Ini saya sampaikan berdasarkan suara hati saya yang pernah meneliti tentang al-Maududi, saya melihat beliau (Tu Söp) adalah sosok yang sama dengan Maududi. Tu Söp tokoh agamawan, ilmuwan dan juga aktivis dakwah (da’i),” ungkap Kamaruzzaman selaku salah satu pembicara dalam forum yang dihadiri oleh ratusan peserta dari berbagai kalangan.

Buku tersebut turut dihadiri dan dibedah oleh Wakil Rektor III UIN Ar-Raniry; Prof. Dr. H. Syamsul Rijal, M.Ag, Guru Besar Unsyiah; Prof. Dr. Mustanir Yahya, M.Sc, Antropolog Aceh; Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, MA, Ph.D, Redaktur Politik & Hukum; Jocerizal, dan turut dihadiri oleh penulis; Tgk. Muhammad Yusuf A. Wahab serta pandu oleh moderator internasional, Mujiburrizal.[]

Sumber: http://www.acehtrend.co/antropolog-aceh-sosok-tu-sop-seperti-al-maududi/

Minggu, 09 Oktober 2016

[Testimoni Publik] Saatnya Ulama Menjadi Umara


Oleh Ihsan M. Jakfar

BELAKANGAN ini, diskursus tentang ulama menjadi umara kembali bergulir menjadi topik pembahasan menarik. Hal ini dilatarbelakangi oleh kemunculan beberapa nama dari kalangan ulama yang disebut-sebut akan ikut meramaikan bursa calon kepala daerah pada Pilkada mendatang. Menanggapi hal ini, beragam pendapat dan pandangan pun bermunculan. Tentu saja ini merupakan bagian dari perkembangan khazanah pemikiran yang harus dihormati.

Dalam konteks keacehan, kehadiran ulama dalam dunia politik, baik secara struktural maupun kultural, sebenarnya bukanlah hal yang mengejutkan. Dalam catatan lintas sejarah Aceh, ulama nyaris selalu hadir dalam politik dari masa ke masa memberikan sumbangsihnya untuk negeri ini. Baik di era otokrasi maupun demokrasi, kaum waratsatul anbiya ini eksis berupaya mempengaruhi pemikiran dan kebijakan-kebijakan para penguasa. Intinya, kehadiran kaum ulama dalam politik tidak bisa dinafikan. Walaupun pergerakan dan strategi politiknya kerap berubah dari waktu ke waktu mengikuti perkembangan.

Namun demikian, tidak bisa dinafikan bahwa dunia politik kita dewasa ini masih sarat dengan berbagai problem multidimensi, mulai dari hulu hingga ke hilir. Betapa tidak, di hulu, dunia politik kita masih disetir oleh birahi kepentingan pragmatis. Sehingga praktek-praktek politik yang jauh dari nilai-nilai idealisme, etika dan kesantunan menjadi tontonan yang tak terhindarkan. Di hilir, dunia politik kita dikangkang oleh keserakahan dan kepentingan politik pragmatis. Sehingga kebijakan-kebijakan yang kemudian dilahirkan tidak kunjung berpihak pada kebaikan dan perbaikan bangsa, agama dan umat jangka panjang secara memadai.

Dalam konteks ini, kehadiran ulama sebagai agen kebaikan dan perbaikan dalam dunia perpolitikan, sejauh ini, belum mampu mengurai persoalan. Pengaruh ulama dalam politik dan kebijakan politis-pemerintahan masih belum cukup kuat. Hal ini ditandai dengan minimnya nasihat-nasihat ulama yang terealisasikan dalam praktek politik dan kebijakan politis-pemerintahan. Lemahnya pengaruh ulama dalam kebijakan politis, bukan karena kaum ulama tidak bekerja secara maksimal dalam mencerahkan maupun menyampaikan pesan-pesan kebaikan dan perbaikan. Ulama sudah bekerja cukup maksimal sesuai kapasitas yang dimiliki. Tetapi ada persoalan lain yang membuat dakwah ulama diterima secara dhahir tetapi diabaikan dalam kebijakan.

Belum cukup kuat

Dalam telaah penulis, ada dua faktor paling dominan yang membuat pengaruh ulama belum cukup kuat. Pertama, kehadiran ulama dalam dunia politik, baik secara struktural maupun kultural, tidak dibarengi dengan nilai tawar politik yang cukup kuat. Sehingga pemain-pemain politik kerap hanya menerima kehadiran ulama sebatas sebagai pelengkap semua unsur demi kepentingan stabilitas politik semata, tanpa ada keseriusan menampung aspirasi keulamaannya. Hal ini tentu disebabkan oleh posisi ulama dalam politik yang masih lemah. Sejauh ini kehadiran ulama dalam politik berada pada posisi pendukung lepas bagi kandidat politik praktis tertentu dan dalam konteks politik-pemerintahan ulama berada pada posisi penasehat bagi pemegang kewenangan. Kedua posisi ini secara politis tidak memiliki nilai tawar yang cukup kuat. Sehingga nasehat ulama bisa saja didengar dengan cukup baik tetapi kerap kali tidak terealisasikan secara baik dan serius dalam kebijakan.

Kondisi ini akan menjadi semakin parah apabila kekuatan politik berada di tangan orang-orang yang tidak memiliki kemauan atau kemampuan untuk memahami konsep-konsep yang ditawarkan oleh ulama. Lemahnya kemauan bisa jadi karena lemahnya karakter dan kesadaran personal politisi terhadap idealism, kebaikan dan perbaikan yang menjadi substansi dakwah ulama. Hal ini berimbas timbulnya benturan kepentingan dan misorientasi antara kedua elemen ini. Sementara lemahnya kemampuan bisa jadi diakibatkan oleh lemahnya pengetahuan dasar politisi akan prinsip-prinsip dasar idealisme kebaikan dan perbaikan yang didakwahkan ulama. Sehingga walaupun sang politisi memiliki niat baik, tetapi dalam praktiknya apa yang ditawarkan ulama tidak terterjemahkan dalam kebijakan-kebijakan di lapangan secara tepat. Apalagi, kesibukan masing-masing membuat komunikasi untuk membangun kesepahaman antara keduanya sulit terjalin secara intens dalam kapasitas yang memadai.

Kedua, mengkristalnya paradigma berpikir di kalangan umat dalam berbagai level yang menempatkan ulama sebagai komunitas yang ekslusif dalam bidang keagamaan. Hal ini menimbulkan kesan seolah-olah ulama hanya memiliki kapasitas mengurusi bidang keagamaan dan tidak relevan mengurusi bidang-bidang kehidupan umat lainnya, terlebih politik. Paradigma ini adalah peranakan dari pemikiran sekular-liberal yang mendikotomikan antara agama dan politik. Dalam kondisi seperti ini, pengaruh ulama dalam sektor kehidupan non keagamaan, termasuk politik dan pemerintahan menjadi sangat lemah. Padahal nilai-nilai Islam yang didakwahkan ulama harus menyasar semua sektor kehidupan. Karena sebagai agama yang universal, Islam tidak hanya mengatur tentang peribadatan dhahir semata tetapi juga menjadi konsep kehidupan secara komprohensif.

Dua faktor ini menjadi pangkal tidak cukup kuatnya pengaruh ulama dalam politik yang berimbas tidak tertatanya politik dengan baik. Baik dalam aktivitas politik praktis maupun dalam pemerintahan. Padahal politik berperan penting dalam proses pembangunan peradaban sebuah bangsa. Sebab politik adalah sumber kekuatan strategis yang mampu menggiring bangsa ke arah yang lebih baik atau sebaliknya, ke arah yang lebih buruk. Jika diibaratkan sebagai sebuah persalinan, politik adalah rahim tempat lahirnya pemimpin dan kebijakan-kebijakan publik yang strategis sebagai manifestasi perencanaan bagi masa depan bangsa dalam berbagai sektor. Tentu saja anak yang dilahirkan tidak bisa dipisahkan dari karakter sang ibu. Politik yang baik akan membuka harapan lahirnya pemimpin dan kebijakan publik yang baik pula. Sebaliknya, politik yang buruk hanya akan melahirkan parasit dan predator bagi masa depan.

Pelopor kebaikan

Oleh karena demikian, politik tidak bisa dianggap sebagai lahan kosong yang bisa ditelantarkan. Kaum ulama sebagai pelopor kebaikan dan perbaikan seyogyanya hadir secara serius dan kontinyu dengan pengaruh dan konsep yang cukup kuat untuk mengintervensi politik dengan nilai-nilai idealisme, kebaikan dan perbaikan. Apabila dalam posisi berada di posisi yang lemah dalam politik praktis, pengaruh ulama tidak kunjung membawa perubahan ke arah yang lebih baik, umat harus siap mendukung sepenuh hati agar ulama menduduki posisi strategis dalam politik praktis untuk memperkuat eksistensi dan pengaruhnya dalam perbaikan.

Melihat kondisi perpolitikan yang tak kunjung membuat kita merasa optimistis akan menuju ke arah yang lebih baik, serta kekhawatiran kita akan semakin mengkristalnya pemikiran secular-liberal yang melemahkan eksistensi agama dan ulama dalam politik hingga akhirnya politik akan semakin jauh dari nilai-nilai agama, maka sejauh pemikiran penulis, sudah sampai saatnya ulama menjadi umara. Artinya, kaum ulama harus memegang kendali pemerintahan untuk memperbaiki kondisi perpolitikan dan meluruskan paradigma politik sesat yang sudah begitu mengkristal.

Ulama terjun dalam politik praktis dengan mencalonkan diri sebagai kepala pemerintahan memang tidak begitu populis. Mengingat selama ini ulama lebih cendrung menjadi pendukung kandidat lain dalam pilkada dan menjadi pendamping bagi leader pemerintahan. Selain itu juga adanya kekhawatiran bahwa jika seorang ulama terjun dalam politik praktis, marwah keulamaannya akan terkotori oleh stigma politik yang negatif. Namun pertanyaan mendasar, jika ulama tidak kuat dalam politik, pada siapa kita berharap perbaikan?

Sejauh ini, ulama dalam posisi “mendampingi umara” tidak kunjung kuat untuk memperbaiki keadaan. Maka sudah sepantasnya wasaf imarah (keumaraan) harus menyatu dengan ulama. Artinya, sudah saatnya yang menjadi umara adalah ulama. Ulama menjadi umara memang bukan hal yang mutlak dan substansial. Substansialnya adalah bagaimana ulama harus memiliki power yang cukup untuk melakukan perbaikan. Manakala perbaikan tidak mampu dilakukan oleh ulama tanpa menjadi umara maka menjadi umara adalah pilihan yang harus dipilih walau sulit dan penuh pengorbanan. Tentu, ulama yang dimaksud adalah ulama yang memiliki karakter yang kuat, wawasan politik yang luas serta memiliki naluri untuk berpolitik.

* Tgk. Ihsan M. Jakfar, Ketua Ikatan Penulis Santri Aceh (IPSA), mahasiswa Fakultas Dakwah IAI Al-Aziziyah Samalanga, Bireuen. Email: ihsan_jeunieb@yahoo.com

Sumber: http://aceh.tribunnews.com/2016/07/29/saatnya-ulama-menjadi-umara.

Selasa, 30 Agustus 2016

[Testimoni Publik] Memahami Panggilan "TU" Dalam Tradisi Aceh

Tgk H Muhammad Yusuf A. Wahab yang akrban disapa Tu Sop oleh masyarakat. Dan dipanggil Ayah oleh para santri

Oleh: Tgk. Muhammad Iqbal Jalil

Kita sering mendengar sebagian Ulama di Aceh yang dipanggil dengan sebutan "Tu". Sebut saja nama salah seorang Ulama besar Aceh, Abu Tu Min Blang Blahdeh yang dipanggil Tu memiliki nama asli Tgk. H. Muhammad Amin Mahmud. 

Begitu juga dengan Tgk. H. Muhammad Yusuf A. Wahab, pimpinan Dayah Babussalam Al-Aziziyah Jeunieub dipanggil Tu Sop. Sekjen HUDA sekarang dipanggil Tu Bulqaini. Panggilan ini mengundang tanda tanya bagi sebagian masyarakat yang belum memahami apa apa sebenarnya di balik panggilan Tu tersebut.

Panggilan Tu sebenarnya sama dengan panggilan Gus di Pulau Jawa. Panggilan ini dinisbahkan kepada anak Ulama sebagai bentuk penghormatan kepada mereka. Abu Tu Min, ayahnya adalah seorang Ulama. Tgk. H. Muhammad Yusuf A Wahab, ayahnya Abu Wahab Hasballah juga seorang Ulama. 

Begitu juga dengan Tu Bulqaini yang merupakan cucu dari Tgk. H. Hanafiah bin Abbas atau biasa dipanggil Teungku Abi, pimpinan Dayah MUDI Mesra Samalanga sebelum Abon Aziz juga seorang Ulama. Hal serupa juga menjadi dasar panggilan Tu yang dinisbahkan kepada keturunan Ulama yang lainnya.

Salah satu bagian dari memuliakan Ulama adalah memuliakan keluarga Ulama. Alkisah, diceritakan dalam kitab Ta'lim Muta'allim bahwa ada seorang Ulama di masa lampau sampai berdiri berkali-kali ketika belajar karena di bawah balai belajarnya sering lalu lalang anak daripada gurunya. Ini menunjukkan betapa para Ulama dahulu memuliakan keluarga dari ahli ilmu hingga mereka menemukan keberkahan dalam hidupnya.

Maka di sini panggilan Tu dimaksudkan agar kita ketika mendengar orang dipanggil dengan panggilan Tu, kita dapat menaruh hormat kepada mereka, karena menghormati mereka adalah bahagian dari menghormati Ulama. Apalagi andaikan mereka sendiri juga sudah menjadi Ulama, maka penghormatan kita kepada mereka tentu harus lebih tinggi lagi.

Akan tetapi di zaman sekarang banyak di antara kita yang kurang memahami tradisi yang sudah diwarisi oleh leluhur kita. Kita kadang-kadang tidak lagi tau siapa yang seharusnya dihormati dan dihargai. Bahkan ada sebagian orang yang berani memandang rendah kepada para Ulama, belum lagi kepada anak dan keluarga mereka. 

Lebih miris lagi ketika sampai pada mengadu domba di antara mereka hanya karena untuk memuluskan kepentingannya. Sungguh ini adalah kebobrokan moral yang sedang dipertontonkan oleh sebagian orang yang barangkali masih kurang memahami yang perlu dibimbing dan dinasehati.

Mudah-mudahan kita tidak melupakan sejarah. Mari kita lestarikan panggilan Tu yang diwarisi oleh leluhur kita agar kita mengenal keturunan dari para Ulama. Dan kemudian kita menghormati mereka sebagai bagian dari menghormati Ulama.

Oleh: Tgk. Muhammad Iqbal Jalil adalah Guru di Dayah Jamiah Al-Aziziyah Batee Iliek, 12 Mei 2014

Sumber: http://www.spiritmuda.net/2016/05/memahami-panggilan-dalam-tradisi-aceh.html

[Testimoni Publik] Tu Sop Sosok Idola Calon Bupati Bireuen 2017 - 2022

Selama ini ulama hanya dijadikan tameng dan jembatan untuk mencapai tujuan politik jika ingin menjadi bupati, Gubernur, anggota dewan dan berbagai jabatan publik lainnya, mereka mendatangi Ulama untuk mencari dukungan dan restu, terkadang setelah tujuan mereka tercapai maka Ulama pun ditinggalkan.

Sehingga krisis kepemimpinan terjadi hampir meratai diseluruh pelosok negeri ini, kemaksiatan merajalela dan kebohongan dimana-mana. rakyatpun apatis jadinya.

Mudah-mudahan kehadiran Ayah Rohani kita Tgk H Muhammad Yusuf Bin Tgk. Abdul Wahab (nama lengkap beliau) sebagai calon Bupati bireuen bisa menghilangkan dahaga masyarakat kabupaten Bireuen yang mengharapkan sosok pemimpin dari golongan Ulama Insya Allah akan terwujud, jika kita masyarakat Kabupaten Bireuen memberi dukungan kepada Ayahanda Tu Sop.

Semoga harapan beliau untuk  memimpin Bireuen di waktu yang akan datang dikabulkan oleh Allah SWT, dengan niat nya yang tulus ikhlas ingin menjadikan Bireuen sebagai Kota Santri, penerapan syariat islam secara menyeluruh dapat kita rasakan manfaatnya dunia dan akhirat.

Firman Allah ta’ala : 
Ø¥ِÙ†َّما ÙŠَخشَÙ‰ اللَّÙ‡َ Ù…ِÙ† عِبادِÙ‡ِ العُÙ„َÙ…ٰؤُا۟ ۗ 
Artinya “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama”. (QS Al Faathir [35]:28)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 Ø§Ù„ْعُÙ„ُÙ…َاءُ  ÙˆَرَØ«َØ©ُاْلأَÙ†ْبِÙŠَاءِ
“Ulama adalah pewaris para nabi.” (HR At-Tirmidzi dari Abu Ad-Darda Ra)

Ayah Sop Jeunib (Calon Bupati Harapan kita) Ayah Sop/Tu Sop yang bernama asli Tgk Muhammad Yusuf adalah salah satu Alumni Mudimesra yang sangat ahli Ilmu Mantiq.

Sekarang beliau adalah pimpinan Dayah Babussalam Jeunib, ini sanad ilmu beliau Ayah Sop Jeunib ( Pimpinan Dayah Babussalam Alaziziyah ) Sanad ilmu beliau :

Ayah Sop - Abu Mudi - Syaikh Abdul Aziz - Abuya Mudawali -Syaikh Ali Al-maliki - Sayyid al Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha al Makki (pengarang Ianatuthalibin ) - Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan - Syaikh Utsman bin Hasan ad Dimyathi - Syaikh Abdullah as Syarqawi ( Pengarang Syarqawi hasyiah Tahrir )- Syamsuddin Muhammad bin Salim al Hafni - Syihabuddin Ahmad bin Muhammad bin Athiyyah al Khulaifi - Imam Nuruddin Abi Dhiya Ali bin Ali as Subramilsi - Nuruddin Ali bin Yahya az Ziyadi - Syihabuddin Ahmad bin Muhammad bin Hajar al Makki ( Pengarang Tuhfah ) - Syaikhul Islam Zakariyya bin Muhammad al Anshari ( Pengarang Ghayah wusul, Isaghuji,Tahrir dll) Imam Jalaluddin Al-mahalli ( Pengarang Syarah Mahalli ) - Syaikh Abdurrahim Al-iraqi Syaikh alaiddin Al-athari Imam nawawi ( Pengarang Matan Minhaj ) Kamal salar Imam muhammad ( Pengarang Syamil shaghir ) Syaikh abdul ghaffar Al-qazwaini ( Pengarang Hawi shaghir) Imam rafii ( Pengarang Muharrar ) Muhammad bin yahya Imam Al-ghazali ( Pengarang Ihya ulumuddin ) Imam haramain ( Pengarang Warqat ) Muhammad aljuwaini Abi bakar qaffal Al-marwazi Abi zaid Al-marwazi Ibnu suraij Abi said Al-anmathi Imam Al-muzani Imam syafii ( Pengarang Al-um ) Muslim bin khalid Az-zanji Muhammad bin juraij Athak bin abi rabbah Ibni abbas Nabi Muhammad SAW. 

Semoga Jadi Bahan Renungan Untuk Kita Jadikan Pemimmpin Kita Yang berkualitas Pada Tahun 2017 S/d 2022.

Pertama :
1 . Ayah Sop Kharisma ; Sosok yang berkualitas kepribadian, kejujuran, kesungguhan, keikhlasan dan keuletannya sehingga menumbuhkan karisma dan nilai spiritual dalam dirinya bagi murid2nya dan orang disekelilingya

2. Ayah sop peduli, Ayah Merupakan pemimpin positif memiliki karakter yang mengindahkan, memperhatikan dan menghiraukan kepentingan orang yang dipimpinnnya

3. Ayah sop Komitmen, selalu menghadirkan kesediaannya untuk melakukan hal dan nilai yang disepakati bersama, serta kesesuaian perkataan dan perbuatan

4. Ayah sop Jelas, ayah punya kemampuan pemimpin untuk memberikan perintah yang mudah dipahami untuk dikerjakan

5. Ayah sop Komunikator, yaitu karakter Ayah yang pandai memindahkan ide, gagasan, konsep dan keputusannya kepada orang lain

6. Ayah Sop Konsisten, kesediannya Ayah untuk terus menerus memberikan dorongan, support, supervisi dan kerjasama

7. Ayah Sop Kreatif, kemampuan pikiran dan konsepnya yang imajinatif, unik, cerdas dan menarik sehingga membuat orang mau bekerja melaksanakan gagasannya

8. Ayah Sop Kompeten, yaitu kemampuan dan keahlian dalam bidang kerja dan operasional lembaga yang dipimpinnya

9. Ayah Sop Berani, Karena Ayah Tau seorang pemimpin harus menunjukkan sikap berani dan percaya diri dalam menjalankan fungsi dan kebijakannya, termasuk melindungi anggota dan organisasinya

10. Ayah sop Nekat, Ayah Sadar pemimpin dituntut untuk menempuh resiko dalam keadaan yang darurat, sehingga dia menjadi orang pertama yang melakukan tugas sebelum orang lain mau melakukannya. [Dipublis oleh relawan dan admin tusop.com]

Link sumber: https://www.alhaq.xyz/detailpost/tu-sop-sosok-idola-calon-bupati-bireuen-2017-2022


[Testimoni Publik] Tu Sop dan Warna Perpolitikan Aceh ke Depan

Oleh Muhajir
Tahun 2017, Aceh dan sebagian besar kabupaten/kotanya akan menggelar pesta rakyat. Pesta demokrasi yang akan diselenggarakan tersebut merupakan bagian dari kebijakan nasional, pilkada serentak tahap II  yang akan digelar di 7 provinsi dan 94 kabupaten/kota se- Indonesia.
Kontestan-kontestan yang mengikuti pilkada di Aceh pun sudah mulai bermunculan seperti jamur di musim hujan. Mulai dari calon untuk Aceh satu hingga calon untuk memimpin tingkat kabupaten/kota.
Tu Sop, tokoh intelektual agama di Aceh yang bernama lengkap H Muhammad Yusuf A Wahab disebutkan akan mengambil bagian dalam perhelatan pesta akbar tersebut. Di depan masyarakat Jeunieb tepatnya di komplek Dayah Babussalam Al-Aziziyah Jeunieb, Senin 9 Mei 2016, beliau menyatakan diri untuk merebut kursi kepemimpinan di kabupaten yang terbentuk pada tahun 1999 setelah mekar dari kabupaten Aceh Utara.

Kehadiran Tu Sop di pentas perpolitikan kabupaten Bireuen bertujuan untuk menyampaikankepada umat, khususnya masyarakat Bireuen, bahwa dunia politik tidak bisa dipisahkan dari agama.
Memperbaiki semua yang bisa diperbaiki, tanpa menunggu bisa memperbaiki semua merupakan niatan awal dari tokol intelektual agama di Aceh untuk menduduki kursi kepemimpinan.

Mengubah Warna Perpolitikan Aceh

Perpolitikan Aceh yang saat ini cenderung dikuasai oleh eks kombatan pejuang kemerdekaan Aceh, terlihat masih banyak kekurangan. Kepemimpinan mereka yang terkesan lebih mementingkan kelompok sendiri membuat pembangunan tidak merata. Sehingga kesejahteraan masyarakat pun masih jauh dari harapan.

Kondisi ini akhirnya menggugah berbagai kalangan unjuk diri. Dari kalangan birokrat kita bisa melihat Tarmizi A. Karim yang menyatakan diri siap merebut kursi Aceh satu. Untuk kalangan akademisi kita melihat ada Prof Adjunct Marniati, S.E., M.Kes, Rektor Universitas Ubudiyah Indonesia (UUI) Banda Aceh yang ingin merebut kursi Banda Aceh Satu. Kalangan intelektual agama juga tak ketinggalan seperti Tu Sop yang siap bersaing merebut BL 1 Z.

Kehadiran berbagai kalangan pasti akan membawa angin segar bagi perpolitikan di Aceh. Namun kehadiran Tu Sop yang merupakan tokoh intelektual agama di Aceh, saya melihat ada keistimewaan tersendiri dalam dunia perpolitikan Aceh nantinya.

Betapa tidak, Tu Sop yang sudah dikenal sebagai salah seorang tokoh Intelektual agama penting di Aceh disamping tokoh lain seperti Tu Min (Tgk H Muhammad Amin), Abu Mudi (Tgk H Hasanoel Basri), Abu Kuta Krueng (Tgk H Usman Kuta Krueng) dan beberapa tokoh lain. Namun beliau berani mengambil keputusan untuk terjun ke politik praktis.

Walau keputusannya terjun ke dunia politik ada yang mencibirkan dan mencemoohkan, namun kehadiran Tu Sop, saya melihat akan ada perubahan besar bagi Aceh, bukan hanya sebatas untuk Bireuen saja.

Tu Sop yang saat ini lebih kenal dikenal sebagai pimpinan Dayah Babussalam Al-Aziziyah Jeunieb yang sering mengisi pengajian seperti baru-baru ini beliau menjadi pemateri di pengajian Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak Jeulingke, Banda Aceh.

Sejatinya beliau juga tokoh yang peduli terhadap perekonomian. Di bawah bendera Yadara (Yayasan Dayah Bersaudara) Tu Sop menjadi penggerak utama di yayasan tersebut. Yayasan yang dideklerasikan pada tahun 2006 tersebut, salah satu mempunyai usaha air mineral yang dilabeli dengan nama Ie Yadara yang sebagian besar dipasarkan di kabupaten  Bireuen.

Walaupun Tu Sop bukanlah tokoh pertama dari kalangan intelektual agama yang terjun ke dunia politik, sebelumnya tahun 2012 Abu Lam Pisang (Tgk Ahmad Tajuddin) juga meramaikan bursa perebutan Aceh satu. 

Namun demikian kehadiran Tu Sop di kancah perpolitikan Aceh diharapkan bisa menggugah minat para tokoh intelektual agama di Aceh lainnya agar mahu mengambil resiko terjun ke dunia politik praktis demi mewujudkan perubahan bagi Aceh.

Selain itu kehadiran Tu Sop juga diharapkan bisa mengubah pola pikir para intelektual agama di Aceh. Dimana pengetahuan umum dan belajar bahasa asing terutama bahasa internasional seperti bahasa Inggris, Mandarin dan bahasa lainnya juga menjadi bahan ajar di dunia dayah dibarengi dengan belajar ilmu agama.

Karena Dayah dengan kekuatan yang dimilikinya, saya yakin akan mampu mengubah kondisi Aceh jika para intelektualnya tidak lagi mengekang diri atas nama menjaga martabat untuk ikut membenahi Aceh dengan terjun ke dunia politik.

Namun jika kehadiran Tu Sop hanya sendiri tanpa adanya dukungan dari tokoh intelektual agama lainnya, itu tiada berguna sedikitpun bagi Aceh. Ibarat menabur garam di lautan.

Jika Tu Sop hadir di kancah politik untuk memperbaiki semua yang bisa diperbaiki, tanpa menunggu bisa memperbaiki semua. Maka melakukan itu, Tu Sop harus bisa mengajak para tokoh intelektual agama lain untuk terjun bersama-sama agar dunia politik bisa menjadi sebuah kekuatan yang memperkuat misi-misi Islam.

Kesanggupan Tu Sop yang menyatakankan diri siap menjadi bakal calon Bupati Bireuen pun diharapkan beliau juga siap dan sanggup mengajak tokoh lain merebut kursi kepemimpinan baik itu  Aceh satu maupun kepemimpinan di tiap kabupaten/kota yang ada di Aceh. Saya rasa, langkah ini akan didukung oleh masyarakat Aceh.

Karena tindakan tersebut benar-benar bisa mengubah Aceh. Kekuatan berjamaah akan lebih bermanfaat dibandingkan seorang diri Tu Sop saja. Ini bukanlah seperti menabur garam di lautan melainkan menyalakan lilin di tengah kegelapan. Wallahu ‘alam...[]
*Muhajir, aktif di ASHaF (Alumni Sekolah Hamzah Fansuri)

Dikutip dari portalsatu.com. Link: http://portalsatu.com/berita/tu-sop-dan-warna-perpolitikan-aceh-ke-depan-11530


Selasa, 23 Agustus 2016

[Testimoni Publik] Tu Sop dan Cerminan “Kejenuhan” Ulama

Oleh Khairil Miswar
Kemarin (25/07/16) sewaktu perjalanan pulang dari Samalanga dalam rangka mewawancarai seorang informan untuk kebutuhan penelitian, sesampai di kawasan Blang Bladeh, mobil butut yang saya tumpangi berjalan seperti merayap. Maju, berhenti, maju dan berhenti lagi. Seketika itu saya bangun dari pembaringan dan melihat jauh ke depan. Ternyata jalanan sedang dilanda macet.
Saya berusaha melihat lebih jauh ke depan, samping dan belakang. Saya melihat ramai sekali masyarakat yang umumnya berkostum putih duduk rapi di mobil bak terbuka yang terus berjalan lambat. Sebagian yang lain menggunakan sepeda motor dan juga mobil minibus. Setelah merayap beberapa saat, mobil butut kami terus mendekat ke Lapangan Geulumpang Payong. Sampai di sana, jalanan juga terlihat macet dari arah timur (arah Matangglumpangdua).
Setelah berusaha melihat kiri-kanan, saya baru tahu bahwa kemacetan tersebut terjadi akibat melimpah-ruahnya massa yang sama-sama menuju Glumpang Payong dalam rangka Deklarasi Pasangan Balon Bupati Bireuen, Tu Sop dr. Pur.
Sebenarnya, saya tidak begitu fokus terhadap perkembangan politik di Bireuen, khususnya dalam beberapa tahun terakhir. Namun, untuk sekedar mengisi waktu kosong, terkadang saya juga berusaha melibatkan diri dalam perbincangan tak penting di kedai kopi terkait beberapa topik hangat yang sedang menjalar di Bireuen seulawet ini.
Mungkin konflik internal Partai Aceh (PA) Bireuen antara pendukung Tuan Khalili versus Tuan Ruslan adalah topik paling hot dalam beberapa minggu ini setidaknya paling hot menurut saya. Namun demikian, kegaduhan itu adalah urusan mereka. Tentunya akan sangat membuang waktu jika kita membincangkannya mereka di sini.
Hasil membaca di beberapa media cetak dan online, saya berhasil mendapatkan sedikit informasi tentang beberapa bakal calon bupati yang akan bertarung merebut Pendopo Kota Juang. Tersebutlah beberapa nama, seperti Haji Saifannur (pengusaha kaya), Amiruddin Idris (Rektor Umuslim), Khalili dari Partai Aceh (saya tidak tahu profilnya), Haji Ruslan (Bupati sekarang), Mustafa A. Geulanggang (mantan Bupati Bireuen), Tgk. M. Yusuf A. Wahab (pimpinan salah satu pesantren di Jeunib dan juga seorang dai) yang dikenal dengan sebutan Tu Sop, dan beberapa nama lain yang tidak begitu populis.

Dari sekian bakal calon yang sudah disebut di atas, kemarin salah satu pasangan telah mendeklarasikan diri untuk maju pada Pilkada (Pilbub) Bireuen mendatang. Kemarin terlihat jelas bahwa massa pasangan Tu Sop dr. Pur melimpah-ruah dan membuat macet jalanan di seputar Kota Bireuen.

Melihat massa yang membludak, sebagian masyarakat atau mungkin timses bakal calon dengan penuh percaya diri membuat status di media sosial: Insya Allah Tu Sop Meunang dan status-status serupa lainnya. Harapan seperti itu tentunya sah-sah saja, setidaknya bisa memompa semangat timses dan juga para pendukung untuk terus bekerja maksimal pada prosesi pilkada nantinya. Namun demikian, prediksi kemenangan hanya dengan menggunakan indikator kerumunan massa adalah terlalu naif.

Pasca Deklarasi Tu Sop dr. Pur, di beranda media sosial, khususnya facebook, juga terdapat beberapa komentar sinis terhadap deklarasi tersebut. Dalam dunia demokrasi, tentu hal semacam ini lumrah saja, di mana kita berhak menyatakan suka atau pun tidak suka kepada sosok tertentu. Sebagai insan merdeka, tentunya kita punya kebebasan untuk menyatakan sikap politik. Namun demikian, dalam menilai sosok tertentu, baik politisi atau siapa pun objektivitas tetap harus dikedepankan.
Hasil pengamatan di media sosial dan juga bincang-bincang kedai kopi, dapat disimpulkan bahwa ada sebagian kalangan yang menginginkan Tu Sop untuk memimpin Bireuen ke depan. Hal ini di antaranya disebabkan oleh ketidakpercayaan sebagian masyarakat terhadap para politisi dari partai penguasa. Dalam hal ini, Tu Sop tentunya dengan berbagai argumen logis diharapkan dapat memberi warna baru dalam perpolitikan dan juga pemerintahan Bireuen ke depan. Namun demikian, ada pula sebagian masyarakat yang tidak ingin Tu Sop yang notabene adalah seorang yang alim melibatkan diri dalam kancah politik praktis.
Ketidaksetujuan mereka terhadap keterlibatan Tu Sop dalam dunia politik praktis juga didasari oleh alasan yang berbeda satu sama lain.
Ada sebagian kalangan mendasarkan ketidaksetujuannya dengan maksud untuk menyelamatkan Tu Sop dari dunia politik yang selama ini dianggap telah jauh dari nilai-nilai Islam. Selain itu, ada pula kalangan lain yang tidak setuju dengan kehadiran Tu Sop tersebab akan menjadi duri penghalang bagi calon yang diusungnya.
Terserah alasan mana yang mereka pakai, yang jelas semua orang berhak untuk memberi penilaian dari sudut pandangnya sendiri.
Di sebalik itu dan ini adalah pendapat pribadi, saya melihat kehadiran pasangan Tu Sop dr. Pur yang merupakan kombinasi ahli agama dan ahli medis patut diapresiasi oleh semua pihak, khususnya masyarakat Bireuen. Kehadiran mereka setidaknya dapat memberi pembelajaran politik bagi masyarakat Bireuen, di mana piasan kekuatan politik dominan yang selama ini dianggap mengecewakan akan terus ditantang oleh orang-orang baik.
Jika dulu mereka (mungkin) menyatakan dukungannya kepada kekuatan politik tertentu, maka saat ini mereka memilih untuk menyusun kekuatan politik baru guna menumbangkan kekuatan lama.
Saya melihat, kehadiran Tu Sop di kancah politik Bireuen merupakan cerminan dari kejenuhan ulama terhadap praktik politik selama ini yang entah bagaimana. Praktik politik yang jauh dari nilai-nilai agama, mulai dari teror, money politik dan tindakan-tindakan hina lainnya tentu akan mendorong kaum terpelajar seperti Tu Sop untuk melakukan perlawanan Mungkin, kejenuhan yang sudah memuncak inilah yang mendorong Tu Sop untuk maju ke depan. Tentu ada cita-cita besar yang ingin diwujudkan oleh Tu Sop bersama para pendukungnya.
Tapi, apakah Tu Sop akan mampu mewujudkan cita-citanya? Kita hanya bisa berharap dan berdoa. Wallahu Alam.

link sumber:
http://www.acehtrend.co/tu-sop-dan-cerminan-kejenuhan-ulama/

Comments System

Disqus Shortname

Diberdayakan oleh Blogger.