Tampilkan postingan dengan label Pemikiran. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pemikiran. Tampilkan semua postingan

Rabu, 02 Agustus 2017

15 Ulama Aceh Bertemu Surya Paloh, Tu Sop: Perbedaan Harus Saling Memperkuat Bukan Menghancurkan

Ulama Aceh Berpose Dengan Surya Paloh
Tusop.com – Jakarta | Sebanyak 15 ulama Aceh, Selasa (1/8/2017) diundang bertemu ketum NasDem, Surya Paloh. Pertemuan tersebut membahas masalah kebangsaan. Para ulama diterima di kantor DPP NasDem, Gondangdia, Jakarta Pusat. Diantara 15 ulama tersebut turut hadir, Tgk H. Muhammad Yususf Abdul Wahab atau biasa disapa Tu Sop, Pimpinan Dayah Babussalam Al-Aziziyah Jeunieb.

Seperti diberitakan detik.com, dalam wawancara dengan media online nasional tersebut, Tu Sop mengatakan pertemuan tersebut dalam rangka silaturahmi sekaligus membicarakan masalah kebangsaan. Beliau berharap dalam berbangsa tidak ada perbedaan yang dapat menghancurkan satu sama lain.

"Bagaimana elemen-elemen yang saling berbeda, kepentingan-kepentingan yang saling berbeda, bagaimana kita ramu dengan konsep Islam menjadi sesuatu yang saling memperkuat bukan saling menghancurkan. Kalau antar-elemen anak bangsa saling menghancurkan, yang hancur itu bangsa sendiri," ujar Tu Sop.

Portal acehtrend.co turut memberikan, Surya Paloh mengapresiasi Tu Sop yang menyampaikan gagasan persatuan umat Islam dalam rangka menjawab berbagai persoalan bangsa yang sedang menghinggapi Indonesia saat ini.

Tawaran konsep agar para stakeholder keluar dari eklusifitas, menurut Surya Paloh merupakan sebuah gagasan luar biasa. Apalagi pada pertemuan itu Tu Sop bicara secara blak-blakan namun tetap ilmiah dan argumentatif. (admin)


Sumber: detik.com dan acehtrend.co

Senin, 23 Januari 2017

Tu Sop: Jangan Sampai Kita Bagaikan Domba-Domba yang Bertarung di Kandang Macan!



Tgk. H. Muhammad Yusuf A. Wahab (Tu Sop) dalam salah satu pidatonya mengatakan, pemilu damai adalah sesuatu yang urgen sekali, di saat kita berada di dalam persaingan global. Hal tersebut disampaikan Tu Sop saat menyampaikan pikiran beliau dalam acara deklarasi Pilkada damai, (28 November 2016).

“Jangan sampai kita bagaikan domba-domba yang sedang bertarung di kandang macan.Yang kalah dimakan macan, yang menang di makan macan kalau kita kalah dalam persaingan global, " “ ujar Tu Sop disambut tepuk tangan hadirin.

Oleh sebab itu, kata Tusop lagi, mari kita sayangi anak-anak kita. Anak-anak kita akan lahir di negeri ini. Buatlah negeri ini yang nyaman untuk mereka.

Tusop juga melarang sorak-sorak hidup Tu Sop karena beliau sadar hidup ini hanyalah sebuah pengabdian, sementara pada saatnya kita semua akan kembali kepada Allah Swt.
“Saya minta kepada timses untuk tidak usah sorak-sorak "Hidup tusop", karena saya pasti mati. Maka oleh karena itu, siapapun boleh menang, baik no 1, 2 3 4 dan 5. Asal anak-anak kita berada di dalam negeri yang memiliki peradaban dan mampu bersaing secara global,” tambahnya lagi.

Tusop juga menegaskan bahwa kehadirannya dalam Pilkada Bireuen semata-mata adalah untuk kedamaian. Tusop tidak mencari musuh.

“Oleh karena itu saya hadir untuk sebuah kedamaian. TIDAK ADA MUSUH DI ANTARA KITA. yang ada adalah persaingan, bukan permusuhan!, “ pungkas Tusop yang disambut tepuk tangan Muspida Bireuen.

Selengkapnya lihat video berikut ini:

Kamis, 19 Januari 2017

Orasi Politik di Peudada, Tusop: Kekuasaan Tanpa Agama Akan Hancur

Ibu-Ibu menyimak orasi politik Tusop di Gampong Meunasah Rabo, Peudada, Bireuen


Tusop.com, Bireuen – Tgk. H. Muhammad Yusuf A. Wahab yang akrab disapa Tusop Jeunieb menyampaikan orasi politiknya  di Gampong Meunasah Rabo Kecamatan Peudada Kabupaten Bireuen. Orasi yang terkait dengan keikutasertaan Tusop dalam Pilkada Bireuen ini dihadiri seribuan masyarakat gampong tersebut dan sekitarnya, Rabu malam (18/1).

Dalam orasi ini Tu Sop menyampaikan, bahwa kekuasaan tanpa agama akan hancur dan kacau balau. Begitu juga agama tanpa kekuasaan akan lemah dan tanpa penyelamat.
Menurut Tusop, disaat haus kekuasaan ada yang melarang ulama berpolitik. Tetapi disaat kepentingan untuk menggapai jabatan ulama juga yang dijadikan modal, yaitu dimana mereka mengesankan seolah dekat dengan ulama.

“Mereka percaya bahwa untuk menggapai kekuasaan butuh ulama, tapi dalam menjalankan kekuasaan tidak butuh ulama. "Ulama lage moto gileng, bak peget jalan urusan moto gileng tapi watee kaleuh jalan ka hana le izin untuk jak moto gileng ateuh jalan, payah peuek moto laen, " ujar  Tu Sop memberi contoh.


Efeknya, kata Tusop, nilai-nilai agama hari ini tidak terintegrasi dalam kekuasaan. Cara-cara Islam tidak masuk dalam sistem pemerintahan karena tidak ada kekuasaan.

Sebelumnya, di awal orasi Tusop mengatakan, mungkin banyak yang berfikir bahwa ketika Tu Sop mengikuti ajang Pilkada adalah hal baru. Memang hal baru, karena semenjak negeri ini lepas dari penjajahan belum ada agamawan yang bergerak untuk memimpin pemerintahan.

Tu Sop menjelaskan, harus kita sadari bahwa dunia pemerintahan hari ini sangat berbeda dengan gaya pemerintahan masa kesultanan Aceh dahulu dimana Sultan berfungsi untuk menjalankan arahan yang telah dikonsepkan oleh para Ulama.

Menurut Tusop, dulu ulama merancang konsep untuk dijalankan oleh Sultan, sehingga semangat sultan dalam menjalankan pemerentahan dalah semangat agama yang didasari menjalankan konsepsi yang disusun oleh para ulama.

“Lalu kita lihat hari ini, atas semangat apa pemimpin kita menjalankan pemerintahan ? Apakah semangat agama atau semangat cari lahan kerja dan rezki lewat pepolitikan. Karena itu tujuannya maka keluarlah ucapan ulama tidak boleh berpolitik, kerena politik itu kotor, sungguh ini merupakan bahasa pembodohan ummat, “ujar Tusop berapi-api.

Tu Sop juga mempertanyakan, jika pemikiran atau Undang-undang Belanda mampu dijadikan aturan untuk negeri ini, tapi kenapa isi Alquran tidak berlaku?, Jawabannya adalah karena kekuasaan tidak ada, kata Tusop lagi. [bahri/admin]

Kamis, 03 November 2016

Tu Sop Rilis Buku Kecil "Menerobos Jalan Terjal Menuju Surga"


TUSOP.COM, Bireuen – Berdakwah tiada habisnya. Berbagai cara harus ditempuh untuk menyampaikan pesan-pesan kebaikan dan perbaikan bagi umat. Agar nilai-nilai dakwah tersampaikan secara utuh dan merata kepada umat, dakwah harus dikemas sedemikian rupa mengikuti perkembangan zaman. Untuk itu, butuh kreatifitas dan inovasi agar dakwah tetap eksis dan mudah diterima oleh berbagai elemen umat.

Tgk H. Muhammad Yusuf Abdul Wahab, atau biasa disapa Tu Sop terus berinovasi dalam berdakwah. Setelah mendirikan Dayah Multimedia dan Radio Yadara FM, 92,8 MHz, belakangan, sosok yang juga aktif berdakwah di kalangan pejabat dan politisi ini juga mulai menulis buku. Hingga sekarang, Tu Sop sudah menulis dua buku. Pertama buku berjudul “Memperbaiki Orang Kuat dan Menguatkan Orang Baik” yang dirilis pada awal tahun 2016 dan terakhir, beliau juga menulis buku kecil berjudul “Menerobos Jalan Terjal Menuju Surga”.

Buku “Menerobos Jalan Terjal Menuju Surga” merupakan buku kecil yang ditulis Tu Sop sebagai pengantar pengajian kitab Minhajul ‘Abidin, karya hujjatul Islam Imam Al-Ghazali, suatu wadah pengajian dan zikir yang mulai dirilis Tu Sop sejak tahun 2014. Buku tersebut dimaksudkan menjadi gambaran awal bagi jamaah pengajian dalam memetakan inti-inti pembahasan dalam kita terakhir karangan Imam Al-Ghazali tersebut.

“Buku kecil ini sejatinya tidak diperuntukkan untuk meningkatkan kemampuan intelektualitas pembaca. Akan tetapi kehadiran buku ini penulis harap dapat menjadi pondasi awal terbangunnya sebuah persepsi yang tepat dan benar tentang makna dan tujuan inti dari kehadiran kita di permukaan bumi ini”, tulis Tu Sop di buku yang di edit oleh murid beliau Tgk Ihsan M. Jakfar. (Admin tusop.com)

Sabtu, 03 September 2016

Tu Sop: Perbaikan Bermula Dari “Men-dayah-kan Masyarakat”


Tusop.com |Secara sosio-kultural, rakyat Aceh memiliki darah cinta kebaikan yang cukup kental. Sejahat apapun orang Aceh, mereka tetap mencintai kebaikan dan mengakuinya sebagai nilai idealis yang semestinya diaktualisasikan dalam keseharian walaupun terkadang secara personal nilai itu gagal diwujudkan dalam sikap dan perilakunya karena berbagai alasan. Darah cinta kebaikan ini sejatinya adalah potensi besar yang jika mampu terkelola dengan baik akan melahirkan kekuatan besar untuk menuju Aceh yang baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur.

Demikian pesan yang disampikan Tgk H. Muhammad Yusuf Abdul Wahab atau biasa disapa Tu Sop, pimpinan Dayah Babussalam Al-Aziziyah, Jeunieb, Kabupaten Bireuen dalam pengajian rutin kitab Ihya Ulumuddin yang disiarkan dari frekuensi radio Yadara FM, 92,8 Mhz, Jeunieb, Sabtu, 3/9.
“Di dalam tubuh orang Aceh mengalir darah-darah pecinta dan pejuang kebaikan. Para pendahulu Aceh adalah orang-orang yang siap mengorbankan apapun untuk mempertahan panji-panji kebaikan tetap berkibar di bumi Serambi Mekah ini. Maka potensi ini jika mampu dikelola kembali dengan baik, kejayaan insya Allah akan menjadi sejarah baru bagi anak cucu kita” cetus Tu Sop dalam pengajiannya yang berdurasi 30 menit itu.

Namun Tu Sop memaparkan, virus-virus pengaruh globalisasi sudah terlalu liar menjangkiti pemikiran dan perilaku masyarakat Aceh. Sehingga pemikiran dan perilaku masyarakat kita cendrung secara perlahan bergeser dari nilai-nilai idealisme. Akhirnya masyarakat kita terjebak dalam pola kehidupan barat yang jauh bergeser dari pola yang diajarkan Rasulullah saw. Dan ‘serangan’ paling dahsyat menghantam akhlak dan moralitas masyarakat kita. Celakanya, bangsa yang tidak berdiri atas pondasi akhlak dan moralitas akan goyah dan sulit berkembang.

Maka oleh karena demikian, menurut Tu Sop, harus ada pergerakan-pergerakan idealis untuk bagaimana memperbaiki kembali tatanan kehidupan masyarakat kita gunu mempersiapkan bangsa ini sebagai bangsa yang layak maju dan berkembang. Perbaikan itu bisa dimulai dari bagaimana meneguhkan kembali nilai-nilai akhlak dan moralitas yang tinggi dengan memaksimalkan potensi naluri orang Aceh yang cinta kebaikan. Pergerakan idealis itu dalam istilah Tu Sop disebut dengan “men-dayah-kan masyarakat”.

“Harus diakui, dengan segala keterbatasan dan kelemahan yang ada, dayah adalah lembaga pendidikan yang konsisten meneguhkan nilai-nilai akhlak dan moralitas dalam masyarakatnya. Dan itu sudah teruji. Maka untuk ke depan, eksistensi nilai-nilai ke-dayahan ini harus mampu diwujudkan tidak hanya di lingkungan dayah semata, tetapi turut menjadi nilai yang menjadi khas masyarakat Aceh secara keseluruhan. Dalam konteks ke-Acehan, hal ini tidak terlalu sulit untuk dilakukan karena orang Aceh memang memiliki darah cinta kebaikan. Hanya saja ini harus terkelola dengan baik. Sebab selama ini, masyarakat kita belum mendapat sentuhan penanganan yang cukup memadai. Tentu saja dalam hal ini butuh kerja keras, stategi dan pejuang-pejuang perbaikan yang militan serta kekuatan yang cukup”, lanjut sosok ulama yang juga ketua I Himpinan Ulama Dayah Aceh (HUDA) tersebut.

Men-dayah-kan masyarakat, menurut Tu Sop, adalah langkah awal untuk memulai perbaikan. Sebab persoalan besar Aceh hari ini bukan kekurangan sumbar daya alam (SDA) atau kekurangan orang-orang cerdas. Tetapi Aceh hari ini masih membutuhkan banyak orang-orang baik yang memiliki keikhlasan untuk mendayagunakan sumber daya yang ada bagi kemaslahatan masyarakat seluas-luasnya. Salah satu imbas dari degradasi akhlak dan moralitas adalah lahirnya orang-orang serakah yang menggunakan semua potensi yang dimilikinya semata-mata untuk memanjakan keserakahannya tanpa memikirkan bagaimana kedhaliman itu terus mengurung bangsa dan masyarakatnya dalam keterpurukan.

“Aceh tidak kekurangan sumberdaya alam. Aceh juga tidak kekurangan orang-orang cerdas. Aceh hanya butuh tambahan orang-orang baik dalam jumlah yang lebih besar untuk kembali ke era kejayaan”, tutup Tu Sop. (Admin)

Rabu, 24 Agustus 2016

Hadiri Pelantikan Pengurus KPMI Aceh, Tusop Ingatkan Pentingnya Ekonomi Menjadi Jalan Kebahagiaan Akhirat


 
Tusop berforo bersama pengurus KPMI Aceh. Foto: menaranews.com

Banda Aceh (Aceh) – Ketua Umum Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia (KPMI), Ir H Nursyamsu Mahyuddin MSi, mengukuhkan pengurus KPMI Korwil Aceh di Khaca Rayeuk Cafee, Rabu Malam (24/8).

Pengukuhan tersebut sekaligus menyerahkan mandat KPMI pusat untuk Ketua KPMI Korwil Aceh, Akmal Hanif, Lc yang baru terpilih pada tanggal 31 Juli 2016.

Gagasan pembentukan KPMI Wilayah Aceh diinisiasi oleh sekitar 20 orang yang bergerak pada berbagai kegiatan usaha di Aceh.

Dalam arahannya, Ketua Umum KPI, Ir H Nursyamsu Mahyuddin mengatakan di Indonesia baru terbentuk 29 korwil. Ia mengatakan, pengusaha masih dipandang agak negatif di Indonesia padahal pengusaha pekerjaan yg paling mulia.

“Jika ada dua orang, yang satu ustaz yang satu lagi pengusaha pasti orang lebih memuliakan ustaz padahal mereka sama-sama mulia. Apalagi ustaz yang jadi pengusaha lebih mulia,” katanya.

Menurutnya, kokohnya ekonomi negara kuncinya ada pada pengusaha. Sekurang-kurangnyan pengusaha mesti ada 2% dari jumlah penduduk negara, baru negara tersebut stabil.

“Sebanyak 2% di Indonesia itu jumlahnya adalah sebanyak penduduk di Singapura. Indonesia masih 1, 5% pengusaha,” ujarnya.

Dalam kesempatan pengukuhan, hadir juga Tgk. H. Muhammad Yusuf A. Wahab atau akrab dipanggil Tusop, T Hanansyah praktisi perbankan syariah yang juga sebagai dewan pembina KPMI Aceh. (RF)

sumber: http://www.menaranews.com/komunitas-pengusaha-muslim-diresmikan-di-aceh/

Sementara itu, Tusop yang ikut memberi sambutan dalam acara ini memberi apresiasi atas gagasan melahirkan KPMI Wilayah Aceh. Tusop mengatakan bahwa ekonomi adalah kekuatan bagi bangsa sekaligus jalan untuk meraih kebahagian kehidupan abadi pasca kematian.

“Apa yang penting kita lakukan adalah menjadi ekonomi dan bisnis kita sebagai jalan untuk kebahagiaan hidup kita di akhirat. Dan itulah bisnisnya orang-orang beriman, “ ujar Tusop. [admin

Tu Sop: Shalat Berperan Penting dalam Membangun Aceh

Arsip: Harian Serambi Indonesia
Tusop.com, – Pelaksanaan shalat sesuai ketentuan Islam dalam kehidupan umat bisa menjadi energi besar untuk menyukseskan berbagai agenda pembangunan Aceh. Shalat yang merupakan ibadah yang langsung diterima Nabi Muhammad Saw dari Allah Swt dalam peristiwa Israk Mi’raj, ditinjau dari berbagai perspektif merupakan kekuatan umat Islam untuk membangun peradaban umat Islam dewasa ini.

Demikian ditegaskan Tgk.H. Muhammad Yusuf A. Wahab yang akrab dipanggil Tusop Jeunieb, pimpinan Dayah Babussalam Al-Aziziyah Kec. Jeunieb Kab. Bireuen saat mengisi pengajian rutin yang diselenggarakan Kaukus Wartawan Peduli Syari’at Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak, Lingke, Banda Aceh, Rabu (11/5).
Oleh sebab, kata Tusop,  persentase jumlah umat Islam yang melaksanakan shalat menjadi ukuran implementasi nilai-nilai agama dalam berbagai apskenya.

“Kalau hari ini cuma 30 persen umat Islam yang shalat, berarti agama baru tegak 30 persen, sementara 70 persen lainnya agama sedang dirusak. Begitu juga, kalau 70 persen shalat berarti agama, “ ujar Tusop yang saat ini juga aktif sebagai ketua I Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) ini.

Dalam kaitannya dengan pembangunan bangsa, kata Tusop, shalat yang dimulai dengan membesarkan Allah (takbir) dan berakhir dengan ‘salam’, itu bermaknsa bahwa sesuatu yang diawali dengan membesarkan Allah Swt niscaya akan mendatangkan keberhasilan dan keselamatan dunia dan akhirat.

Tusop menambahkan, membesarkan Allah Swt itu artinya membesarkan apa yang dibesarkan Allah swt. Yang dibesarkan Allah yang pertama sekali yaitu akidah. Dalam akidah, Allah tidak akan mengampuni dosa syirik yang merupakan dosa yang tiada maaf.

Lalu, apa pentingnya akidah? Menurut Tusop, Kalau kita membesarkan Allah, dosa yang paling besar itu ya syirik, sehingga upaya menjauhkan umat dari kesyirikan juga harus menjadi agenda penting dalam pembangunan.

Sementara itu, Tusop menambahkan, do’a iftitah yang dibaca dalam shalat adalah sebuah ikrar, perjanjian dan komitmen kita sebagai muslim untuk mengelola dunia ini agar sesuai dengan harapan Allah Swt.

“Ketika kita shalat, kita membaca do’a iftitah yang artinya, Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah pemilik sekali alam. Itu artinya, komitmen tersebut merupakan sebuah ketundukan di hadapan Allah Swt bahwa kita hanyalah seorang budak hamba yang tidak ada target apa-apa dalam hidup ini selain apa yg diperintahkan Allah swt, berjuang mencari ridha Allah swt dan tdk melakukan larangannya dalam kehidupan dunia, “ kata Tusop menjelaskan.

Nah, komitmen seperti ini, seharusnya sangat member dorongan bagi seorang Muslim agar membangun dunia ini, agar membangun bangsa dalam cita-cita ideal sesuai dengan perintah Allah Swt. Dan tentu saja, kata Tusop, model pembangunan terbaik adalah model pembangunan yang diperintahkan Allah Swt kepada manusia.

Lalu kapan hidup dan mati untuk Allah ? Menurut Tusop, pertama, kita harus lakukan apa tujuan kita diciptakan. Allah ciptakan kita adalah untuk beribadah kepadaNya. Inti dari kehidupan ini adalah ibadah, bukan uang atau materi, dan tanpa menghasilkan ibadah berarti waktu itu terbuang tanpa makna.

Tusop mengatakan, siapa yang memuji Allah maka itu lebih baik dari dunia dan seisinya. Misalnya, membacaallahu lailaha illah lahul mulku walahul hamd, walau hanya satu menit, tapi lebih baik dari dunia dan isinya. Dan dalam Alqur’an, kata Tusop, Allah Swt telah berjanji bahwa jika penduduk sebuah negeri beriman dan bertakwa, maka Allah Swt akan membuka pintu keberkahan dari langit dan bumi. Apakah kita ragu dengan janji Allah swt tersebut? Kata Tusop mempertanyakan.

“Membangun Aceh dengan shalat adalah pembangunan yang berorientasi  pada suksesnya perjalanan hidup orang Aceh menuju syurga, bukan menuju neraka. Itu inti pembangunan yang sesungguhnya, karena hidup kita di dunia adalah momentum untuk menuju kehidupan abadi di akhirat, “ kata Tusop lagi.

Sementara dalam rangka menyukseskan berbagai agenda pembangunan Aceh, Tusop mengajak masyarakat Aceh untuk memperkuat arus dan gelombang kebaikan yang hari ini kian melaju.

“Kebaikan tanpa arus yang kuat akan dikalahkan oleh kejahatan yang memiliki arus yang kuat. Kalau orang baik memegang kekuasaan, maka akan menggiring kekuasaan menuju kebaikan. Baru kebaikan menjadi kuat, disaat semua orang kuat memperkuat kebaiakan. Disaat budaya politik tidak memperkuat orang baik, maka akan sulit kebaikan ini bisa kuat. Dan jangan menunggu untuk memperkuat orang-orang baik di sekitar kita. Kalau kita sudah melakukan apa yang kita bisa, maka kita akan bisa melakukan semuanya, “ terang Tusop yang sukses mengelola Radio Yadara ini.

Tusop juga mengingatkan agar umat Islam bisa khusyu’ dalam shalat, agar hati selalu ingat Allah. Sebab, kata Tusop, shalat adalah kesempatan emas untuk mengaktifkan kembali hati yang sudah lupa Allah Swt agar  kembali ingat Allah.

“Shalat yang paling sempurna adalah saat shalat kita mampu melupakan segala persoalan duniawi, dimana yang ada hanyalah Allah swt. Untuk itu, butuh mujahadah dan renungan, sering bertafakkur sehingga munculmakrifah untuk membesrakan Allah swt. Saat kita bermunajat kepada Allah kita sedang menghadapi zat yang paling besar. Orang yang paling dekat dengan Allah adalah saat jika shalat ia mampu melupakannya segala-galanya, ia akan menganggap dunia ini jadi kecil dan yang besar hanya Allah Swt, “ terang Tusop.

Menurut Tusop, sebuah usaha perbaikan itu tidak gampang, yakni hampir sama dengan memperbaiki shalat.  Saat kita mampu menggiring semua orang untuk shalat maka kita akan sukses untuk agenda pembangunan Aceh. Inilah sukses dalam kacamatan keimanan kita sebagai Muslim, kata Tusop. 

sumber:
http://aceh.tribunnews.com/2016/05/13/shalat-berperan-penting-dalam-membangun-aceh

Kamis, 18 Agustus 2016

Tusop: Pejuang Islam Jangan Takut pada Celaan



Tusop.com, Umat Islam diingatkan untuk tidak menjauh dari ajaran Islam dan tidak perlu takut kepada celaan orang-orang yang suka mencela ajaran Islam. Sebab, kita umat Islam hanya dengan ajaran Islam lah kita akan berjaya dunia dan akhirat.

Hal itu diungkap oleh Tgk.H.Muhammad Yusuf A.W, pimpinan Dayah Babussalam Al-Aziziyah Kecamatan Jeunieb, Bireuen saat mengisi pengajian rutin yang diselenggarakan oleh Kaukus Wartawan Peduli Syari’at Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak, Banda Aceh (27/11/2013).

Menurut ulama muda yang akrab disapa Tusop ini, jika kita menjauh dari Islam maka kita akan bermasalah. Sebaliknya, kita akan sukses dengan Islam sehingga jika implementasi ajaran Islam sukses, maka Aceh juga akan sukses, kata Tusop. 

Tusop juga mengatakan, bahwa hari ini umat Islam dilabeli dengan berbagai macam label yang melecehkan. Ini disebabkan karena kita lemah. Kenapa kita lemah? Karena pemimpin dan masyarakat kita terlalu cinta kepada dunia dan takut akan mati.

Padahal seharusnya, kata Tusop lagi menjelaskan, umat Islam itu tidak seharusnya menjadi penakut oleh berbagai label dan celaan. Sebab, ciri-ciri umat Islam yang mencintai Allah dan Allah mencintanya adalah mereka yang tidak celaan orang yang suka mencela, seperti digambarkan dalam Alquran surat Surah Al Maidah Ayat 54:

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas, lagi Maha Mengetahui”.

Penjelasan ini disampaikan oleh Tusop untuk menjawab pertanyaan seorang peserta yang hadir dalam pengajian tersebut yang bertanya tentang adanya proses penghilangan kata-kata “Syari’at” secara sistematis di Aceh dengan alasanya adanya kesan keras dan radikal pada kata tersebut. Kalau kita masih takut kepada label dan celaan manusia kepada ajaran Islam, maka keimanan dan akidah kita akan dipertanyakan, kata ulama muda ini.

Tusop juga menambahkan, bahwa Aceh gagal bukan karena Islam dan proses penegakan syari’at, tapi karena kita telah meninggalkan Islam. Kita tidak mengimplementasikan ajaran Islam sepenggal-penggal, tidak kaffah. Ini bukti bahwa kita telah meninggalkan Islam. 

Lihatlah misalnya pendidikan, seberapa linearkah proses pendidikan kita di Aceh dengan agenda dan cita-cita keIslaman dan keAcehan? Sangat jauh, kata Tusop. Begitu juga bidang lainnya seperti ekonomi dan sebagainya.

Dalam pengajian bertema “Tanggungjawab Pemimpin dalam Islam” ini, Tusop juga menyorot sejumlah persoalan dalam kehidupan umat Islam dewasa ini. Menurutnya, tugas seorang pemimpin itu  yang paling utama merubah perilaku umat Islam dari berfikir negatif menjadi positif, dari konsumtif menjadi produktif. Begitu juga, kebijakan seorang pemimpin itu harus mendidik, yaitu memiliki nilai edukasi dalam setiap gerak geriknya.

Dihadapan segudang persoalan ini, Tusop mengajak masyarakat Aceh untuk menghidupkan kembali majlis-majlis ta’lim, karena memang pabrik perbaikan umat adalah ta’lim. Tusop juga berpesan agar di Aceh memperkua syari’at Islam, bukan meninggalkannya. Misalnya dengan membentuk desa-desa percontohan di seluruh kabupaten kota di Aceh. 


Minimal sekali, setiap Kabupaten ada beberasa desa yang menjadi pilot project syari’at Islam. Dan pemimpin Aceh harus konsisten membangun pilot project gampong syari’at Islam. Ini penting kata Tusop, karena adanya pilot project ini dalam jangka akan menjadi model penerapan syari’at Islam di Aceh. [sumber: suaradarussalam.com]

Tujuh Pandangan Tgk.H. Muhammad Yusuf A.Wahab Tentang Politik

Pertama, Bagaimana posisi dan peran ulama’ dalam berpolitik selalu menjadi perbincangan tanpa henti baik di kalangan ulama’ sendiri maupun mereka yang terjun dalam arena politik. Seperti perbincangan-perbincangan lainnya, isu ini menghasilkan dua kelompok; mereka yang membolehkan ulama’ masuk dalam lingkungan politik praktis agar dapat memberi warna yang baik, dan kelompok kedua yang berpendapat bahwa sebaiknya ulama’ tidak terjun langsung dalam politik sehingga netralitas mereka dapat terjaga. Masing-masing pendapat pasti mempunyai alasan dan bukti yang menurut mereka dapat dijadikan sandaran penting dari pendapat tersebut.

Kedua, Shalat berperan penting dalam memangun Aceh. Maka shalat itu setiap kita Ummat Islam di Aceh sangat tergantung untuk menentukan pembangunan Aceh dengan tetap menegakkan Shalat 5 waktu, bahkan Rasul bersabda shalat tiang Agama menegakkan shalat sama menegakkan Agama dengan Agama tegak Negarapun Akan tegak.

Ketiga, Islam itu, bukan hanya soal ibadah saja. Dengan itu tidak boleh disalahkan dikala ulama mau memberi pengabdiannya yang lebih lagi untuk memperbaiki keadaan yang telah terlalu rumit yang di hadapi ummat saat ini, khususnya di provinsi Aceh.

Keempat, Maka tiada kebaikan, tanpa perbaikan. Ummat sedang terkatung-katung, dalam arus kebathilan yang menghancurkan, bila tanpa pergerakan untuk memperkuat kembali ke arah kebaikan, hingga umat akan tergulung dalam arus kehancuran. Maka tiada kebaikan, tanpa perbaikan, sulit memperbaiki tanpa kekuatan. Saatnya ulama, kita semua melakukan akan perbaikan ke arah yang benar melalui kekuatan, dengan ilmu serta bimbinga Allah semata.

Kelima, Jika Agama tidak hadir untuk memperbaiki politik, maka politik akan menjadi fitnah besar terhadap Agama dan umat, maka saatnya kita memperhatikan dan menaruh peran dalam memperbaikinya.

Keenam, Memperbaiki semua yang bisa, tidak menunggu mesti mampu memperbaiki semua. Slogan semoga untuk dapat kita ambil dan menjadi start awal untuk satu jalan memperbaiki akan keterpurukan Agama dan Ummat. Hingga kita ada satu barisan dalam menentukan jalan benar akan pilihan dunia dan Akhirat, yang sesuai sunnatullah yang telah di ajarkan oleh para guru-guru kita yang terdahulu.

Ketujuh, Pembahasan ilmu politik juga tidak lepas dari pemikiran dan ideologi yang berkembang saat ini disamping juga memaparkan kaidah, model dan bentuk pemerintahan yang dianut oleh banyak negara di dunia. Hal ini dapat dipahami karena ideologi memang tidak akan pernah lepas dari karakteristik politik saat ini. [berita disarikan dari situs www.huda.or.id]

Tusop: Hindari Perbedaan Yang Menghancurkan Sesama Islam

Tgk. H. Muhammad Yusuf A. Wahab
Tusop.com, BANDA ACEH - Umat Islam di Aceh dalam kehidupannya di dunia diharapkan tidak saling menghancurkan sesamanya, dan terus bisa menjaga persatuan sehingga lahirnya kekuatan agar tidak mudah dikacaukan oleh musuh-musuh Islam yang ingin menciptakan kekacauan dan perpecahan di tengah umat ini.

Sementara terhadap berbagai perbedaan pendapat atau khilafiyah yang muncul, jangan melahirkan permusuhan sesamanya tapi, sebaliknya menjadi rahmat untuk saling menguatkan satu dengan lainnya dengan tetap berpegang pada tuntunan Al-Qur'an dan ajaran dari Rasulullah SAW.

Demikian disampaikan Tgk H. Muhammad Yusuf Abdul Wahab atau Tu Sop (Pimpinan Dayah Babussalam Al -Aziziyah Jeunieb, Bireuen) saat mengisi pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak, Jeulingke, Rabu (30/9/2015) malam.

"Kita tidak ingin perbedaan yang saling menghancurkan. Kita ingin ikhtilafu ummati rahmah. Kita ingin perbedaan yang saling menguatkan. Bagai elemen mobil, berbeda, tapi saling menguatkan," kata Tgk. HM. Yusuf A. Wahab

Pada pengajian yang membahas tema, "Memahami Ahlussunnah Waljamaah" ini, Tu Sop menyerukan umat Islam semua beragama seperti yang dibawa oleh Rasulullah. Semua berada di garis yang lurus, yang membuat perjalanan hidup mati benar-benar ke surga, dan bukan neraka. Maka Rasulullah menyuruh mengikuti apa yang beliau bawa.

"Ma'ana alaihi wa ashhabi. Ini dasar Ahlusunnah wal jamaah. Pertama ikut Rasul. Kemudian, yang paling mengerti dan paling mampu menerjemahkan apa yang dimaksud oleh Rasulullah adalah sahabat. Jadi mengikuti sahabat artinya mengikuti Rasulullah. Agama itu diterjemahkan lewat teks dan lewat perbuatan. Kalau shalat diterjemahkan lewat perbuatan, kita tidak bisa. Karena kita tidak melihat Rasulullah. Yang melihat Rasulullah adalah sahabat. Sahabat memperlihatkan kepada tabiin. Tabiin memperlihatkan kepada tabi’ tabi’in. Begitulah seterusnya," jelasnya.

Maka, yang namanya Ahlussunnah Waljamaah dari generasi awal itu sangat mempertahankan silsilah mata rantai. Misalnya, ada yang pelajari satu ilmu, harus jelas gurunya siapa? Gurunya itu gurunya siapa? Dan gurunya itu siapa lagi gurunya? Hingga ke Rasulullah. Karena kalau lepas dari mata rantai itu, terjadi pemahaman-pemahaman yang berpotensi menyeleweng. Perawi hadis juga seperti itu.

"Ketika orang baca Al-Quran dan hadits kemudian beda pemahaman, yang beda bukan ayat dan hadits, tapi pemahaman. Maka ada ilmu untuk menguji kebenaran pemahaman tersebut, seperti ushul fiqh," sebut ulama muda Aceh ini.

Tu Sop menekankan kenapa perbedaan yang menghancurkan harus dihindari. Ini tidak baik bagi agama sendiri dan pemeluknya. Kedua, sumber yang benar adalah punya silsilah dari Rasulullah dan sahabat, tanpa mempertentangkan antara sahabat dengan Rasulullah. Misalnya, kita tidak boleh ikut sahabat, ikut Rasulullah saja, ini baru sunnah saja, belum jamaah. 

Padahal tidak ada pertentangan apa yang dilakukan Nabi dan sahabat, karena sahabat adalah generasi yang paling memahami Nabi. Bagai orang yang lihat mobil dari jauh, seolah-olah bertabrakan, padahal kalau kita lihat dari dekat, ternyata tidak bertabrakan.

"Khusus bagi kita dan apa yang terjadi, ada akibat pemahaman berbeda yang saling menghancurkan. Di saat dua hal berbeda dan saling mendominasi, bisa masuk pihak ketiga atau empat yang bermain. Sehingga yang menyerang la ilaha illa Allah, dan yang diserang juga la ilaha illa Allah," ungkapnya.

Maka kita perlu kaji bersama, kenapa Aceh di saat jayanya, saat kerajaan Aceh jadi kekuatan dunia, di saat mereka mengakui 4 mazhab, tapi untuk Aceh diambil satu, kenapa? Saat itulah Aceh kompak, Aceh maju, dan go internasional. Walau ada perbedaan, bisa diselesaikan, tanpa menghancurkan.

"Apa yang terjadi di Timur Tengah jangan sampai terjadi di Asia Tenggara, jangan di Indonesia, dan Aceh. Mari kita tafsirkan Ahlussunnah Waljamaah. Kita harus bedakan personalnya dengan konsepnya. Jangan mengukur Islam lewat muslimnya, apalagi muslim zaman sekarang. Mungkin kalau muslimnya sahabat, iya. Tapi muslim zaman sekarang jangan," harap Tu Sop yang juga Ketua I Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) ini.

Maka dalam hal itu, maunya kita mampu membangun pemikiran yang bijaksana, Ahlusunnah Waljamaah yang punya silsilah hingga ke Rasulullah, dengan metoda-metoda yang jelas. Kalau tidak komit dengan itu, maka siapa pun akan menyatakan ini dari Al-Quran, itu dari Al Quran, padahal itu menurut mereka sendiri, seperti yang dilakukan oleh kaum liberal.

Tgk Yusuf juga menjelaskan, masalah akan muncul ketika hadir yang menghancurkan pemahaman lain. Misalnya, orang di Aceh sudah ada satu pemahaman. Datang orang lain, mengatakan ini syirik, itu bid'ah, ini sesat. Tidak dimusyawarahkan dulu, ini syirik atau tidak. Tapi langsung menghakimi sendiri.

Misalnya, Ulama-ulama Aceh dulu mengatakan Allah SWT itu tidak bertempat dan tidak ada ruang dan waktu. Lalu datang yang lain mengatakan Allah punya tempat. Inilah sumber terjadi frontalitas. Ini sebenarnya perlu dihindari. Kalau dibiarkan, jadi arena pertarungan.

"Bijaksananya, kembali ke kepemimpinan Islam masa lalu. Dengan kafir aja bisa hidup. Jangan datang-datang menghancurkan yang sudah ada. Bagaimana bisa toleran jika terus menghancurkan yang lain. Kalau ada yang salah, ayo duduk bersama. Jangan sampai membuat masyarakat bingung," terangnya. (kwpsi.org)

Comments System

Disqus Shortname

Diberdayakan oleh Blogger.